Maret 15, 2011

Surat Untuk Soe Hok Gie

Jakarta 13 Februari 2011

Untuk Soe Hok Gie,
yang telah dipeluk kematian


Dear Gie,
Buku Harianmu, banyak orang yang sudah membacanya Gie. Ayahkuy membeli buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran bertahun-tahun lalu. Hingga buku itu menjadi tua dan menguning. Kutaksir, ayah membelinya ketika dia masih menjadi mahasiswa (Komunikasi UI, masih di Rawamangun kala itu, sekarang UI pindah ke Depok).

Gie sayang,
Kebanyakan manusia menjadi tua dan kemudian mati. Tapi kau tidak. Tercapailah impianmu mati muda, dengan kebekuan, kesunyian, dan kenagkuhan gunung yang tinggi. Kau mencintai alam dan kau mati dipeluk alam (baca: dibunuh). Gie sayang, maaf aku menanyakan ini: Apakah kau melihat Tuhan saat ajalmu? Bagi aku yang percaya Tuhan, kematianmu ini adalah murni takdirnya.

Gie sayang,
kau selalu ingin bebas, tapi manusia tidak pernah bebas Gie. Kebanyakan dari mereka, layaknya engkau justru terpenjara dalam pikiran mereka sendiri. Kita selalu memanusiakan diri kita Gie, ya dengan itu KITA TIDAK PERNAH SEPENUHNYA BEBAS. Kita, oke, memang bebas bertindak, berpikir, atau apapun deh. Tapi tidak selama kita dihadapkan dnegan orang lain.

Gie sayang,
kau merasa bahagia menaklukkan gunung. Sebaliknya kau merasa lepas, aku biarkan pantai menaklukkan aku. Angin yang seenaknya menarik rambutku, ombak yang bertubi menampar kakiku. Bhakan lautan yang bersahutan memaksaku berteriak...

Gie sayang,
lihat Indonesiamu sekarang! Tidak ada yang peduli dengan negeri ini! Meski Tuhan begitu sering memberi peringatan..... Maaf Gie, tak sanggup aku bercerita tentang negeri ini lagi.

Gie sayang,
Kau adalah pemuda yang baik. Apakah Maria menangis saat kau pergi? Sungguh aku tidak tahu Gie. Gie sayang, sama seperti kau ketika mencintai aku tidak pernah mau menodainya bahkan dengan kata-kata.

Gie sayang,
cukup suratku yang jelek ini. Jangan dibalas karena dapat membuatku takut.


Salam sayang,


Daya Cipta Sukmajati

Tidak ada komentar: